Sabtu, 20 Agustus 2011

Shalahuddin al Ayyubi

Perang Salib



Jerussalem merupakan kota Suci bagi ketiga agama samawi, Islam, Yahudi dan Nasrani. Di kota inilah letaknya Masjidil Aqsa yang menjadi Kiblat pertama umat Islam sebelum beralih ke Baitullah di Makkah. Di masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) Jerussalam dikuasai oleh umat Islam secara damai. Khalifah Umar datang ke Jerussalem untuk menerima penyerahan kota Suci itu atas persetujuan Uskup Agung Sophronius. Berabad abad lamanya kota itu berada di bawah kekuasaan Islam, tapi penduduknya bebas memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Orang-orang Nasrani dari Eropa datang untuk beribadah dalam jumlah yang besar dengan membawa obor dan pedang seperti tentara. Sebagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling dan diiringi oleh pasukan bersenjata lengkap. Sebelum Jerussalem dikuasai Kerajaan Seljuk tahun 1070 M, upacara seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, atas dasar toleransi agama. Akan tetapi setelah Kerajaan Seljuk memerintah, upacara seperti itu tidak dibenarkan, dengan alasan keselamatan. Malangnya, tindakan Seljuk itu membuat orang-orang Nasrani merasa kebebasan agamanya telah dicabuli oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam. Patriach Ermite adalah seorang yang paling lantang dalam mengobarkan kemarahan orang Nasrani. Dalam usahanya untuk menarik simpati umat Nasrani, Ermite berkeliling Eropa dengan mengenderai keledai sambil memikul kayu Salib. Dia berpidato di dalam gereja, di jalan raya dan di pasar-pasar. Dia menceritakan dengan kebohongan kalau orang Nasrani telah dihina dan dizalimi oleh umat Islam di Jerussalem. Hasutan Ermite berhasil mempengaruhi Paus Urbanus II untuk memberikan ampunan bagi yang bersedia mengikuti Perang Suci tersebut. Maka keluarlah ribuan umat Nasrani untuk mengikuti perang suci. Mereka yang ingin mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda Salib di badannya, oleh karena itulah perang ini disebut Perang Salib. Patriach Ermite berangkat dengan 300.000 pasukan menuju Jerussalem. Sepanjang perjalanan, mereka di izinkan merampok, memperkosa, dan minum-minuman keras. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, selalu menyanjung-nyanjung dan memberikan bantuan seperlunya. Akan tetapi sesampainya di Hongaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Salib marah dan merampas harta benda penduduk. Penduduk di dua negeri ini tidak tinggal diam. Walaupun mereka sama-sama beragama Nasrani, mereka tidak senang dan membalas perlakuan ini. Terjadilah pertempuran sengit yang sangat mengerikan. Dari 300.000 pasukan Salib, hanya 7000 saja yang selamat. Pada saat pasukan Salib mendarat di pantai Asia kecil, pasukan Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan telah menyambutnya dengan hayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit yang berakhir dengan hancur binasanya seluruh pasukan Salib itu.

Kaum Salib Mengganas
Setelah kaum Salib yang dipimpin oleh Rahib itu musnah, muncullah pasukan Salib yang dipimpin oleh anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150.000 pasukan, kemudian menyeberang selat Bosfur dan melanggar wilayah Islam. Pasukan Muslimin yang hanya berkekuatan 50.000 orang bertahan mati-matian di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan. Satu persatu Benteng kaum Muslimin jatuh ke tangan kaum Salib, memaksa Kalij Arselan mundur sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan kaum Salib datang dari mana-mana sedangkan Kalij Arselan tidak dapat mengharapkan bantuan dari negara-negara Islam yang lain, karena mereka sibuk dengan kemelut dalam negeri masing-masing. Setelah terjadi pertempuran yang cukup lama, akhirnya kaum salib dapat mengepung Baitul Maqdis, tapi penduduk kota Suci itu tidak mau menyerah begitu saja. Mereka berjuang mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. Akhirnya pada 15 Juli 1099 M, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan Salib.

Kemunculan Panglima Shalahuddin
Jatuhnya Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib telah mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota Suci yang telah dikuasai selama lebih 500 tahun terlepas dalam sekejap mata. Mereka sadar akan kekeliruannya karena berpecah belah. Setiap penguasa Islam mulai bersatu untuk merebut kembali kota Suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih dalam usaha menghalau tentara Salib itu ialah Imamuddin Zanki dan diteruskan oleh anaknya Emir Nuruddin Zanki dengan dibantu oleh panglima Asasuddin Syirkuh. Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tentaranya merebut Damsyik. Shalahuddin yang ketika itu berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menundukkan Daulat Fatimiyah di Mesir. Usahanya berhasil. Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, Wazir besar Shawar merasa iri melihat kekuasan Syirkuh semakin besar. Dengan sembunyi-sembunyi Shawar pergi ke Baitul Maqdis, meminta bantuan pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric dari Jerussalem menerima permintaan tersebut. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Setelah menerima syarat damai dari kaum Salib, panglima Asasuddin dan Shalahuddin diperbolehkan pulang ke Damsyik. Kerjasama Wazir besar Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkannya tentara besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. Panglima Shirkuh dan Shalahuddin mulai maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tentangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Suatu hari panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke makam seorang wali Allah di Mesir, ternyata Wazir Besar Shawar dijumpai bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap dan dibawanya ke istana untuk dihukum mati. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir Baru itu segera melakukan perbaikan di setiap institusi kerajaan secara bertahap. Sementara panglima Shalahuddin Al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang sungai Nil hingga Assuan termasuk bandar perdagangan Iskandariah.

Menutup Daulah Fatimiyah
Wazir Besar Syirkuh tidak lama memegang jabatannya, karena beliau wafat pada tahun 1169 M. Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir Besar menggantikan Syirkuh dengan mendapat persetujuan pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fatimiah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Zanki sebagai ketuanya. Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan mengakhiri kekuasaan Daulat Fatimiah untuk seterusnya diserahkan kepada Daulat Abbasiah di Baghdad. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimiah yang berkuasa selama 270 tahun. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu disambut meriah di seluruh wilayah Islam, lebih-lebih di Baghdad dan Syiria.

Menyatupadukan Kekuasaan Islam
Walaupun sangat pandai mengatur strategi, Shalahuddin tidak mau menipu atasan demi kekuasaan dunia. Karena apa yang dikerjakannya selama ini hanyalah untuk menghalau tentara Salib dari bumi Jerussalem. Untuk tujuan ini, beliau berusaha menyatukan wilayah Islam terlebih dahulu, kemudian membersihkan pengkhianat agar peristiwa Wazir Besar Shawar tidak terulang lagi. Di Mesir, beliau telah berkuasa penuh, tapi masih tetap setia pada kepimpinan Nuruddin Zanki dan Khalifah di Baghdad. Tahun 1173 M, Emir Nuruddin Zanki wafat dan digantikan oleh puteranya Ismail yang ketika itu baru berusia 11 tahun dan bergelar Mulk al Shalih. Para ulama dan pembesar menginginkan agar Shalahudin mengambil alih kekuasaan karena tidak suka kepada Mulk al-Shalih yang kurang bertanggungjawab. Akan tetapi Shalahuddin tetap setia bahkan mengabadikannya pada mata uang syiling. Tidak lama kemudian Ismail wafat, maka Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan menciptakan Emirat Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai amir yang pertama. Tidak berapa lama, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz ke dalam kekuasaannya. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh pasukan Salib dari Normandy, juga telah dapat direbut dalam waktu yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin cukup besar untuk mengusir tentara kafir Nasrani yang menduduki Baitul Maqdis selama puluhan tahun.

Perjuangan Merebut Baitul Maqdis
Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin berusaha untuk memusnahkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis. Siasat yang pertama kali dijalankannya adalah mengajak tentara Salib untuk berdamai. Pada lahirnya, kaum Salib memandang bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong. Shalahudin sudah menyangka kalau orang-orang Nasrani itu akan mengkhianati perjanjian, hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Ternyata memang betul, baru sebentar perjanjian ditandatangani, kaum Salib telah melanggarnya. Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini masih gagal. Beliau kembali ke markasnya dan menyusun kekuatan yang lebih besar.

Kembali Ke Pangkuan Kaum Muslimin
Setelah melalui berbagai peperangan, sampailah Shalahuddin pada maklumat utamanya yaitu merebut Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama 40 hari, membuat penduduk dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa. Waktu itu tentara pertahanan jerussalem sekitar 60.000 pasukan. Pada awalnya Shalahuddin meminta agar kota Suci diserahkan secara damai. Beliau tidak ingin bertindak seperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 untuk membalas dendam. Akan tetapi pihak Nasrani telah menolak tawaran baik dari Shalahuddin, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan, Shalahuddin pun bersumpah akan membunuh semua orang Nasrani di dalam kota itu sebagai balas dendam atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan Muslimin melancarkan serangan atas kota itu. Setelah berlangsung serangan selama empat belas hari, pemimpin kaum Salib mulai gentar melihat kegigihan dan kekuatan pasukan Muslim yang hanya tinggal menunggu waktu untuk bisa masuk ke benteng. Beberapa pemimpin Nasrani keluar menemui Shalahuddin, untuk menyerahkan kota Suci secara damai dan minta agar nyawa mereka diselamatkan. Akan tetapi Shalahudin menolak sambil berkata: “Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukkannya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Nasrani pun melainkan akan kubunuh sebagaimana engkau membunuh semua Muslimin di kota ini. Setelah usaha diplomatik mereka tidak berhasil, Datuk Bandar Jerussalem sendiri datang menghadap Shalahudin dengan merendah diri, membujuk dan merayu dengan segala cara. Akhirnya ketua Nasrani itu berkata: “Jika tuan tidak mau berdamai dengan kami, kami akan balik dan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sejumlah 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu dan istri-istri kami. Setelah itu kami akan hanguskan rumah dan bangunan yang ada, semua harta dan perhiasan juga akan kami dibakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, Setelah itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian, karena sudah tidak ada lagi yang kami harapkan. Jika demikian, kebaikan apalagi yang tuan harapkan?” Setelah mendengar kata-kata nekat itu, Sultan Shalahuddin merasa kasihan dan bersedia untuk berdamai. Beliau meminta nasihat para ulama yang mendampinginya mengenai sumpah yang telah diucapkannya. Para ulama mengatakan bahwa beliau mesti menebus sumpahnya dengan membayar Kifarat sebagaimana yang telah disyariatkan. Pada hari Jum’at 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis. Mereka melaungkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah Swt. Air mata kegembiraan menetes di setiap pipi kaum Muslimin. Pada hari Jum’at tersebut, kaum Muslimin tidak sempat melaksanakan sholat Jum’at di Masjidil Aqsa karena sempitnya waktu. Mereka terpaksa membersihkan Masjid itu dari babi, kayu-kayu salib, gambar-gambar rahib dan patung-patung yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani. Barulah pada Jum’at berikutnya mereka melaksanakan solat Jum’at di Masjidil Aqsa buat pertama kalinya dalam masa 92 tahun. Kejatuhan Jerussalem ke tangan kaum Muslimin telah membuat Eropa marah. Mereka melancarkan kutipan yang disebut “Saladin tithe”, yakni derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar, beberapa orang raja Eropa berangkat untuk merebut kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun, Shalahuddin masih dapat mempertahankan Jerussalem hingga perang tamat. Setahun selepas perang Salib ke tiga itu, Sultan Shalahuddin pulang kerahmatullah. Tetapi saat ini Baitul Maqdis yang telah direbut dan dipertahankan oleh Sultan shalahudin al ayyubi dan pasukannnya telah dikuasai oleh Zionis Yahudi dengan negaranya Israil yang dibantu oleh Amerika. Jika sekiranya ada kepala negara yang bersifat seperti Sultan Shalahuddin di Timur Tengah sana, Insya Allah Baitul Maqdis dapat direbut semula oleh kaum Muslimin.

Dikutip dari almihrab.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar